Here In My Home - Malaysian Artistes For Unity

Wednesday 21 October 2009

Kenapalah Gamaknya?

Aku tak tahulah tapi dah beberapa kali dah bebudak sekolah tahfiz datang berjumpa aku nak jual barang untuk pembiayaan atau minta sumbangan untuk pembelajaran mereka, termasuk yang terbaru ni. Apsal kalau nak jadi tokoh agama ni nampaknya kena mengalami kehidupan dhaif, perlu mengemis ke sana sini macam sami2 agama lain. Tak boleh ke jadi macam aku pernah tengok dalam sinetron Indon seorang ulama yang berkelana sebenarnya hartawan yang membawa derma ke pelusuk daerah bagi pihak yayasan dakwahnya, sedangkan orang kampung mensyakinya sebagai orang miskin yang sanggup mencuri untuk pembiayaan hidup. Apsal tak leh jadi macam Saidina Abu Bakar atau Saidina Umar yang jadi contoh hartawan Islam untuk menjadi tokoh Islam? Hakikatnya dari pandangan mata kasar aku kebanyakan bebudak ni bukannya terdiri dari golongan kurang kemampuan, bahkan aku rasa keluarga mereka sebenarnya mampu nak membantu sebanyak mana pun. Kalau tidakpun baitulmal-baitulmal kat negara ni yang dilaporkan melimpah ruah harta wakaf sepatutnya boleh membantu jika diminta memberi bantuan, jadi kenapa tidak meminta bantuan daripada pihak yang sepatutnya?

Bukan apa dari pengamatan aku juga bebudak sekolah tahfiz anjuran NGO yang berwibawa macam Perkim yang ada sebuah kat kejiranan aku tak ada dan tak perlu pun membuat kerja mengemis ni. Depa rilek aja mengalami kehidupan sebagai bebudak sekolah asrama, cuma perlu belajar dan menghafal apa yang sepatutnya dan lepas tu boleh beriadah dan menjalankan ibadah yang sepatutnya mereka jalankan. Dan pengamatan aku juga menunjukkan bebudak yang mengemis ini biasanya datang dari sekolah agama/tahfiz/pondok swasta yang sebenarnya dikerah untuk dipergunakan sebagai jurujual percuma barangan pihak swasta itu, tak kisahlah kopi kuat ke, vcd agama ke apakebendanya pun. Jadi bila gamaknya mereka tu nak mentelaah untuk menjadi seorang tokoh agama, sedangkan waktu2 terluang seperti waktu petang/cuti mereka keluar berkeliaran di pusat-pusat awam, R&R lebuhraya maupun zoo negara.

Bila agaknya pihak berwajib nak menyiasat dan membendung gejala ini sedangkan aku masih ingat tak berapa lama dulu ada kejadian kemalangan jalanraya di mana dua tiga bebudak ini maut dalam perjalanan pulang dari tugasan luaran ini sedangkan ibubapa mereka tak tau menahu pun anak-anak mereka kena lakukan tugasan ini. Jadi kecohlah sekejap mak bapak bebudak sekolah itu minta pihak berwajib siasat kenapa anak-anak mereka dipergunakan tanpa kebenaran mereka, tapi seperti biasa senyap aja tanpa konklusi maupun resolusi. Yang pasti kegiatan ini masih berleluasa, dan aku pun menulis dalam bahasa melayu ni pun fasal malu tak mau masyarakat antarabangsa terhidu benda mengaibkan ini, dan napak gayanya sampai kesudahlah masalah ini tidak dapat diatasi. Bagi aku senang aja, bebudak ni aku tak layan pun walaupun sedih melihat kehampaan mereka sebagai cara pembedungan aku tersendiri, aku cuma derma terus kepada organisasi yang datang ke surau atau masjid, fasal aku pasti yang ini telah diperiksa dahulu keperluan mereka dan bukan untuk menjadi habuan mereka yang rakus dan tak malu menggunakan agama untuk kepentingan sendiri.

Saturday 17 October 2009

Remembering Raya Pasts!

As today is the last weekend for the Hari Raya Open House season and also Diwali for our Indian friends, I guess its time for me to comment a bit on what is written in this article reminiscing on how we celebrated Hari Raya in the past. I guess this is more poignant for me as I have just lost my uncle and godfather who acted as my surrogate father for my absentee parents in Ipoh who usually helped us get prepared for the festivals before they returned home for the holidays.





One practise that seems to be dying out is the lighting of oil lamps or Panjut in Malay that usually starts on Malam Tujuh Likur, or the the 27th Ramadhan night, that is usually associated with Lailatul Qadr night in Malay society. Back in Ipoh, I remember going around Kampong Manjoi where the villagers had an ongoing tradition of "panjut wars" where they famously had different neighbourhoods coming together to come up with oil lamp displays made of bamboo, wood and of course oil lamps that can rival any Christmas light display with the twinkling commercial crap. It was a great sight to behold the villagers creative arches of twinkling lights like fireflies flickering in the night that came from oil lamps, with an ethereal glow from the smoke. I am not sure if this practise continues as after a few years our family ourselves gave up on this practise as it is actually quite difficult nowadays to purchase the needed kerosen to light up the lamps.



Another practise that I feel has become a memory is the exchange of cookie platters between the households in the neighbourhood, regardless of race that was practised not only during Hari Raya but in all the major festivals. It was great to receive the trays of peanut cookies, Menglembu ground nuts, murukku and Ladhoo during Chinese New and Diwali, but the greatest anticipation was when the cookie platter either in tiffin, trays or plastic containers were returned and was opened. The minimum you could expect is some sugar as it was considered impolite to return an empty container, but your eyes twinkled when the neighbour with the favoured cookies returned it fully ladened with the same as you could now indulge,that you could not do during the house visit as politeness dictates. But then I guess this practise has now evolved where instead of exchanging such cookie trays, you now brought them to the office to be offered at your desk or the pantry for your colleagues to partake in.

There are other practises that include open houses as it was done then where the house was thrown open to visitors at any time instead of an appointed day nowadays that I would like to write about, but god willing let those be the written when the next Hari Raya comes around.